SS : Sebuah Catatan Perjalanan (Part I)

PART I

HASRAT, TEKAD, HARAPAN, DAN CINTA

Hari-hari kedepan adalah hari-hari  yang  paling ditunggu oleh banyak mahasiswa. Beberapa hari kedepan adalah masa liburan kuliah di semester ganjil di universitas gue. Gue adalah seorang mahasiswa yang saat ini mengambil studi Jawa di Universitas Indonesia semester pertama. Saat ini adalah bulan desember tahun 2010, penghujung masa kuliah di semester ganjil dan akan segera memasuki musim libur. Musim libur kali ini cukup panjang, maklum selama SMA dulu libur paling panjang hanya sekitar 2 minggu tapi kali ini lumayan lama yaitu sekitar 2 bulan.

Beberapa bulan lalu sebelum gue keterima dan masuk di Universitas Indonesia ini, gue adalah seorang siswa di SMA 46 Jakarta yang terletak didaerah Blok.A Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Selama masa SMA, gue termasuk aktif dalam kegiatan kepecintaalaman dari ekskul disekolah yang bernama Gasakpala 46. Keaktifan gue diekskul itu membawa gue sempet menjabat sebagai ketuanya. Masa-masa di gasakpala rupanya menghipnotis gue jadi senang dengan yang namanya naik gunung. Apalagi masa-masa SMA itu adalah masa ‘labil’ seorang anak semakin membuat gue terbius dengan berbagai aktifitas outdoor. Terlebih lagi saat ini, buat gue sekarang rasanya terlalu jenuh untuk enggak naik gunung pada masa liburan kuliah yang panjang ini.

Gue sendiri baru berhasil menapakkan kaki dibeberapa puncak gunung yang deket dari Jakarta, kota yang memuakkan ini. Pas kelas XI SMA gue pertama kali muncak gunung ketinggian 3000 meteran itu adalah gunung Ciremai. Kalau enggak salah ketinggiannya itu 3076 mdpl. Saat itu gue menjalani pendidikan kedua Gasakpala, pendidikan pertama gue ke Kawah Ratu, Gunung Salak dari sisi Sukabumi. Untuk Ciremai sendiri gue udah berhasil mendaki dua kali. Satu lagi saat gue yang jadi panitia pendidikan untuk adik-adik kelas gue. Pada tanggal 28 Oktober setahun yang lalu, gue juga sempet muncak di gunung Gede dalan rangka perayaan sumpah pemuda. Yaa begitulah curhatan gue secara umum di masa SMA.

Untuk liburan kali ini gue bingung, enggak tau harus gimana. Hasrat untuk mendaki mulai muncul lagi. Seakan-akan memanggil-manggil gue untuk mendaki dan terus mendaki, entah apa yang gue cari disana. Yang gue tahu, gue selalu berhasrat untuk mendaki meskipun gue belum jago seperti tokoh-tokoh inpisatif lainnya. Jujur gue juga agak terobsesi tokoh seperti Gie, tokoh inspiratif karakter mahasiswa yang cerdas, idealis, dan suka naik gunung yang sampai ajalnyapun dia di gunung, Mahameru. Tapi sama sekali gue gak mau seperti dia, Gue ya gue, dan dia ya dia. Cerita Soe Hok Gie memang selalu meracuni mahasiswa untuk mencontoh gaya ala Gie, dan gue gak suka itu. Para mahasiswa sekarang menjadi sok-sok aktifis yang suka demo-demo. Buat gue demo itu perlu, tapi enggak buat saat ini.

Mahasiswa sekarang yang gue liat itu cuma kebawa aja tanpa tau dan paham soal Gie. Mereka meneriak-neriakan yel-yel yang gak jelas itu dan sok membela rakyat. Padahal rakyat gak butuh yang seperti itu saat ini. Rakyat butuh sesuatu yang nyata ketimbang suara-suara miring yang menghujat pemerintah. Apalagi para mahasiswa itu ada juga yang jadi tertular ingin naik gunung seperti idola mereka, Gie. Padahal mereka payah. Gue bangga sama anak Mapala UI, mereka pake otak buat mendaki bukan cuma ikut-ikutan kaya anak BEM atau macam-macam aktifitas pergerakan mahasiswa lainnya. Gue gak bilang mereka semua busuk, Tapi hanya sebagian dari mereka yang cuma ikut-ikutan karena terobsesi banget sama yang namanya Gie. Gie tetaplah Gie, selamanya dia seperti itu tanpa ada yang pernah  menyamakannya. Lalu soal mahasiwa-mahasiswa itu, biarlah, kehidupan akan menemukan jalan.

Kini gue terjebak lagi pada hasrat yang tadi. ‘Naik gunung’ ayo naik gunung. Entahlah, gunung mana yang harus didaki selanjutnya. Besok adalah akhir pekan di bulan Desember. Gue gak mau kehilangan waktu gue besok untuk hal lain selain searching dan cari info soal gunung-gunung di negeri ini. Hasrat-hasrat ini harus gue pendam sementara untuk menghadapi soal UAS hari ini yang lumayan melelahkan. Apalagi mata kuliah pengantar kesusastraan, dosennya mengerikan. Kelasnya seperti penjara, tak ada waktu sedikitpun untuk tersenyum dan semoga saja hari ini beliau lebih manis dari hari biasanya.

 Akhir Pekan di Bulan Desember

Ini adalah hari esok setelah semalam dihujani buayan-buayan mimpi tentang hasrat gue itu. Keinginan untuk mendaki rasanya semakin memuncak ke ubun-ubun. Bagaimanapun caranya gue harus naik gunung di liburan ini. Sekarang saatnya gue melihat luasnya cakrawala dunia lewat internet. Hari itu seperti biasa, gue selalu ke warnet yang gak jauh dari rumah gue, tapi kali ini bukan mau ngerjakan tugas kuliah tapi cari info pendakian. Warnet pukul sepuluh memang selalu belum ramai, maklum warnet disini buka pada pukul delapan itupun kalau ada orang yang sudah mengetuk pintu, baru buka. Gue di warnet cuma bersama operator yang sesekali keluar masuk entah mau apa di luar. Tentu saja Mr. Google adalah kawan setia dalam setiap pencarian sejagat, serta facebook yang selalu meracuni untuk terus-terus main sampai lupa waktu.

Lewat facebook itu ngobrollah gue dengan sahabat SMA gue waktu itu yang namanya Geo. Kebetulan dia sedang online juga. Geovani Surya Jaya adalah sahabat gue selama SMA  yang memiliki tanggal lahir persis sama dengan gue. Dia terlahirkan tanggal 25 Maret 1992. Bedanya gue siang dan dia malam, makanya hidupnya agak sedikit lebih suram. Geo adalah salah satu rekan pendakian waktu di gunung Gede. Gue bersahabat dengan dia sebetulnya sudah sejak kelas X waktu ngumpul-ngumpul di Rohis dulu. Melalui Rohis akhirnya kami jadi akrab, biasanya saat kami ngumpul bareng kami juga bersama Fegy. Itu nama cowo loh bukan cewe apalagi banci tapi kadang sih kelakuannya agak feminim.

Melalui pembeciraan di chat itu gue menawarkan Geo untuk ikut mendaki dibulan januari besok. Sepertinya dia tertarik. Tapi dia bercerita kalau saat ini dia sedang sibuk untuk pendakian di gunung Limo, daerah Puncak, Bogor dalam rangka pendidikannya untuk masuk Aranyacala, organisasi pecinta alam dilingkungan kampus Universitas Trisakti. “Baiklah, gue mungkin mau, tapi gue mau nyelesain pendidikan gue di Aranyacala dulu”, sahutnya lewat chat kami. Geo memang sangat ingin menjadi anggota Aranyacala, lantaran dulu dia enggak melanjutkan aktifitasnya di Gasakpala terbentur masalah izin orang tua. Di Gasakpala statusnya hanya simpatisan saja, kadang-kadang dia memang ikut kegiatan kegiatan gasakpala malah waktu ikut pendakian ke Gede dia juga bohong sama orangtuanya, dia bilang cuma ke Puncak, Bogor, padahal naik gunung, untung gak ketahuan. Nah, pas kuliah ini dia baru diizinkan oleh orangtuanya, makanya dia berminat sekali untuk mengikuti pendidikan di Aranyacala.

Geovani adalah sahabat saya yang paling konyol kelakuannya. Buat yang baru kenal mungkin dia tak berbeda dengan teman-teman yang lain. Tapi setelah berikutnya anda akan tertawa melihat kelakuannya yang tolol dan jenaka tanpa perlu melawak. Secara fisikly dia gak jelek, parasnya yang putih bermata sipit jelas menadakan bahwa dia ketunan Tionghoa. Agamanya islam, dia berdarah Cina-Palembang. Gue sangat berharap dia bisa ikut dalam rencana pendakian gue berikutnya ini. Bagaimanapun, dia orang yang asik untuk diajak hal-hal semacam ini. Semoga saja dia punya waktu di liburan ini.

Diwaktu yang sama gue coba cari info lewat google tentang gunung yang mungkin akan gue daki. Semeru, Mahameru adalah gunung yang paling gue idam-idankan saat ini. Semeru adalah gunung dengan puncak tertinggi di pulau Jawa. Mahameru adalah salah satu gunung yang cukup aktif. Setiap hari akan ada letusan skala kecil dan kepulan asap sulfatara dari kawah utamanya. Gunung ini memiliki padang pasir menjelang puncaknya, tapi saat ini bayang-bayang Semeru buat gue cuma mimpi saja. Aktifitas Mahameru saat ini meningkat seiring meningkatnya gunung Bromo yang terletak disebelahnya. Apalagi musim ini bulan Desember-Januari, musim yang menjadi halangan untuk mendaki disana karena arah angin yang membawa letusan ke arah sisi jalur pendakian. Gie tewas mengenaskan disana karena masalah gas beracun yang dikeluarkan sang Meru pada bulan Desember pula. Gue gak mau itu terulang saat ini. Terlalu beresiko, gue masih banyak dosa. Nampaknya musim seperti sekarang ini tidak cocok untuk mendaki.

Pilihan gue berikutnya jatuh pada gunung Slamet. Gunung yang berketinggian 3400an mdpl itu merupakan yang tertinggi di Jawa Tengah. Gunung ini agak dikeramatkan oleh orang jawa. Dari cerita mamang gue, gunung ini membawa nasibnya sial. Dia pernah mendaki gunung Slamet bersama rekannya, naas saat itu mereka mengalami kecelakaan ledakan kompor gas yang mereka gunakan. Alhasil mereka sempat dirawat di salah satu rumah sakit di Purwokerto dan gagal pulang dengan selamat tak seperti nama gunungnya. Mitos dan pantangan digunung inipun dari info yang gue dapat cukup banyak. Namun bukan ini yang menyurutkan semangat gue untuk mendaki gunung ini. Sama nasibnya seperti Semeru, saat ini status Slamet ditingkatkan dan pendakian untuk sementara waktu ditutup. Kekecewaan terhadap kedua puncak utama di pulau Jawa ini gak membuat gue mengurungkan niat. Gue akan coba cari alternatif lain yang mungkin justru lebih menarik dan menantang.

Kebuntuan pemikiran ini membuat gue coba refresh dulu dengan main facebook lagi. Gak berapa lama gue teringat cerita senior gue, kak Asih angkatan XX Gasakpala. Saat gue ngobrol pas SMA dulu di sekretariat GP (Gasak Pala) beliau pernah menceritakan tentang gunung kembar Sindoro dan Sumbing. Menurut cerita beliau, gunung ini memiliki lokasi yang saling berdekatan. Bahkan antar puncaknya bisa saling senter. Jalur pendakian yang ia ceritakanpun saling berseberangan hanya dipisahkan oleh jalan lintas tengah Jawa. Berbekal cerita itulah gue mulai tertarik dan mengumpulkan info.

Setelah mengumpulkan berbagai informasi di internet, gue mulai berpikir bahwa ini adalah target gunung berikutnya yang memungkinkan untuk gue daki. Dari informasi yang gue dapet bahwa gunung ini terletak di daerah Wonosobo, Jawa Tengah. Wonosobo adalah kota dimana temen sejurusan gue tinggal. Wah kebetulan banget, gue bisa banyak tahu melalui temen gue itu.Gunung Sindoro dan Sumbing sendiri merupakan gunung paketan istilahnya. Umumnya orang mendaki kedua gunung ini ditambah Slamet. Oleh sebab itu ada istilah Tripel S. Yakni Slamet, Sindoro, Sumbing (SSS) kadang hanya Sindoro dan Sumbing saja kemudian dikenal dobel S atau SS (Sindoro Sumbing) berhubung jarak Slamet yang lebih jauh sendiri. Pendakian paketan ini tidak sepele. Berdasarkan informasi yang di dapet, gunung ini sangat ekstrem dari segi jalur pendakian yang curam dan berbatu serta ketiadaan sumber air. Nah justru ini yang menarik buat gue. Pencarian informasi lebih dalam tentang gunung inipun membawa gue lebih dalam untuk terlibat.  Gue mulai mengumpulkan cerita-cerita orang tentang pendakian disana, serta tentu saja gue butuh peta. Berhubung peta topografi itu sulit dicari dan sulit dipakai, maka gue butuh peta medan.

Awalnya ide gue adalah membaca cerita orang kemudian gue gambarkan dalam suatu peta medan buatan gue. Gue cobalah cara itu. Gue catet detail catatan tersebut, mulai dari perjalanan mereka di ladang selama satu jam, bagaimana kondisi ladang, apakah ada persimpangan, bagaimana trek berikutnya, apa yang mereka temukan disana, petunjuk-petunjuk lokasi, semua detai itu gue gambarkan hingga gue berhasil membuat peta medan kedua gunung ini hasil penggambaran cerita yang gue dapet itu. Niatnya peta itulah yang bakal gue gunain dan gue bawa saat pendakian kelak. Gue kembali kerumah dari warnet itu. Hari mulai menjelang petang. Gue lanjutkan pemetaan cerita itu dirumah. Gue perbandingkat cerita satu dengan yang lainnya, Nampak ada yang berbeda,dicerita pertama dikatakan setelah menemui jalan buntu setelah lading di Sindoro, kita akan melipir bukit menuruni dua lembah lima jembatan, dicerita yang lain jembatan ditulis hanya ada dua buah. Ini membingungkan, gue cuma bisa nerka-nerka aja, tapi keyakinan gue hanya aka nada dua jembatan karna hanya dua lembah yang dilewati. Kecuali dilebah itu terdapat jalur air lebih dari satu. Entahlah, semua masih jadi tanda tanya. Hingga larut malam gue menyelesaikan pemetaan itu

Sisi Lain

Ini adalah sisi lain gue. Ini cerita cinta yang turut terlibat dalam perjalanan panjang ini. Meskipun gue ini bukan orang yang ganteng, gue juga gak begitu jelek secara fisik. Gue gak akan membahas fisik disini, tapi gue akan membahas cinta. Di akhir desember ini sejujurnya adalah masa-masa akhir kebebasan gue karena sebentar lagi gue akan memiki kekasih yang baru. Namanya Rara, dia adalah teman sejurusan awalnya, yang entah mengapa setelah beberapa lama putus hubungan dengan mantan gue yang sebelumnya gue jadi deket dengan dia. Kami rupanya telah saling suka. Kedekatan kami diakhir-akhir ini membuat kami terjebak dalam hubungan yang ‘meresahkan’. Gue ingin memilikinya tapi kedekatan pasca gue dirawat di rumah sakit karena terserang DBD di bulan November sebelumnya Nampak terlalu cepat sebenernya. Gue ingin mengenal dia lebih dalam terlebih dahulu.

Tapi apa boleh buat, apa boleh dikata, teman-teman sejurusan terlalu bawel dan banyak komentar kalau tidak segera diresmikan. Temen-temen dijurusan nampaknya ingin sekali gue nembak Rara, padahal buat gue nembak yang cuma bilang : eh, gue suka sama lo, lo mau ga jadi pacar gue? , itu adalah kata-kata basi yang udah gak seharusnya seperti itu lagi. Menurut gue, tanpa kata-kata gue suka sama lo, gue saying sama lo, gue cinta sama lo, seseorang dapat salimng mencintai. Buat apa bilang cinta kalau pada akhirnya putus juga. Cinta itu bukan kata-kata, tapi sikap! Lebih baik tak berkata. Itu prinsip yang membuat gue gak nembak-nembak.

Sampai pada suatu ketika sore selepas pulang dari kampus, gue bertemu dengannya. Gue ketemuan dengannya ditempat biasa kami bertemu. Klaster ( kelas terbuka ) adalah salah satu tempat yang paling sering buat gue bertemu dengannya. Di sini viewnya bagus. Kita bisa melihat danau, serta jembatan merah teknik-sastra. Maka dari itu gue sering menhabiskan waktu bersamanya disini. Saat itu kami membicarakan soal hubungan gue dengannya yang sudah semakin akrab.

“Ra, bagaimana tentang hubungan kita?”tanya gue kepadanya. Belum sempat ia menjawab gue udah nambahin pertanyaan baru lagi.”Apa harus aku nembak kamu dan mengatakan aku cinta kamu dan seterusnya itu?”. Rara tersenyum kecil dan memberi jawaban untuk meyakinkan gue meskipun tetap saja nampak agak ragu “Enggak kok. Waktu papah sama mamah aku pacaran aja mereka cerita kalau diantara mereka tidak ada yang nembak tuh. Tahu-tahu sudah menikah saja, begitu katanya” sahut Rara. “Oh jadi gitu, jadi gak perlu nembak ya?” tanya gue coba menggoyahkan lagi imannya. “Tapi gimana, aku juga pengen kaya orang-orang”, jawab rara sedikit memelas seakan berharap lebih. “Maksud kamu?gue balik tanya. “Aku juga pengen kaya orang-orang yang bisa merayakan, satu bulanannya, dua bulanan, setahunan, dan seterusnya” jawab Rara. “Baiklah kalau seperti itu. Tapi aku butuh tanggal yang tepat yang mudah diingat”, tambah gue menegaskan. Rara sepertinya bingung dengan maksud gue itu yang memang agak membingungkan. “Bagaimana kalau tanggal 1 Januari 2011 tepat pukul oo.oo WIB. Biar semua orang yang merayakan malam itu.”gue coba menggombal. Rara hanya tertawa dia pikir mungkin tanggal 1 esok itu terlalu dekat. Tapi gue gak punya banyak pilihan, tanggal 1-1-11 itu bener-bener gampang diinget. Yaudah gue pilih lah tanggal itu. Hingga hari itu nantinya tiba.

Dari perbincangan itu kami jadi ngobrol banyak tentang apa saja yang bisa kami obrolkan. Nah, tentu saja gue ceritakan mengenai niat gue untuk mendaki gunung Sindoro dan gunung Sumbing. Gue bilang gue ingin kesana dibulan januari esok, tapi belum tahu siapa saja rekan pendakiannya. Rara menyarankan supaya gue cari temen dulu, apalagi dia juga tahu gue punya beberapa temen yang satu hobi. Dia setuju saja jika itu memang mau gue. Rara memang cewek yang pengertian soal hobi gue yang satu ini. Jadi dia ikhlaskan saja kalau memang ada temannya. Ya kalau memang seperti itu gue bilang gue bakal cari temen dulu. Soal Geo yang berminat tapi masih sibuk pendidikan Aranyacalanya itu juga gue ceritakan kepadanya.

Suasana Klaster rupanya sudah semakin panas. Matahari mulai terik sekali, beberapa orangpun sudah bubaran. Gue akhirnya melanjutkan aktifitas kampus lainnya. Gue berdua dengan Rara saat meninggalkan klaster untuk makan di kansas (kantin sastra). Gue ceritakan kepadanya tentang pengalaman pertama gue ke Gunung Gede. Gue bilang sama dia kalau di Gede itu ada suatu alun-alun yang indah sekali. Alun-alun itu nampak seperti surga saat pertama menapakkan kaki disana. Alun-alun itu bernama Surya Kencana. Disana begitu indah karena alun-alun yang terletak 45 menit sebelum puncak Gede ini ditumbuhi oleh bunga keabadian. Bunga edelweiss tumbuh subur disini. Alun-alun ini membentang dari sisi timur sampai barat gunung Gede.  Alun-alunnya mungkin bisa didarati oleh pesawat terbang sebagai gambaran betapa luasnya tempat itu.

Waktu pertama gue kesana, cuacanya kurang begitu bagus, awalnya cerah-cerah saja, tapi hanya dalam waktu beberapa menit kabut turun pekat, angin kencang, dan tiba-tiba jadi hujan deras sekali. Rombongan gue yang saat itu harus menuju sisi barat untuk buka camp, akhirnya harus bersusah payah menerjang hujan angin. Sangat membekukan sekali. Saat tiba di surya kencana barat, rombongan gue yang terdiri dari Andra, Wedya, Fany, Nanan, Tri, serta Geo akhirnya buka camp dengan tenda yang basah kuyup.  Membuka tenda pada saat hujan adalah hal yang tersulit dalam pendakian. Masalahnya bukan masalah basahnya, tapi udara saat hujan itu membekukan. Saat hujan jari jemari menjadi beku dan sulit sekali digerakan. Gue bahkan coba gesek-gesek pisau ke tangan dan sama sekali gak berasa. Geo nampak tolol karena dalam kondisi basah kuyup kedinginan itu dia malah diam saja bukannya membantu kami membuka tenda. Hampir saja Andra memukul Geo, untung ditahan teman yang lain. Andra rupanya kesal saat itu melihat Geo yang diam saja. Sampai akhirnya hujan reda menjelang maghrib dan tenda kami berdiri. Sampai saat ini Geo benci sekali jika mengingat kejadian itu. Dia merasa bersalah dengan kelakuan tololnya itu.

Rara mendengarkan cerita gue itu dengan serius, sampai pada satu bagian gue bilang sama Rara tentang surya kencana mungkin kita akan kesana. Enggak tahu kapan tapi masih ada kemungkinan. Meskipun gue tahu bahwa Rara tidak akan pernah boleh oleh orang tuanya kesana. Apalagi naik gunung. Gue gak mau ngasih harapan kosong seperti itu kepadanya. Oleh karena itu sebelum keberangkatan gue nanti ke Sindoro-Sumbing, gue berusaha buat mengabadikan sesuatu bersama bunga abadi. Mungkin sekedar foto edelweiss bisa menggantikan Surya Kencana. Lihat saja nanti, semua itu tergantung situasi Sindoro-Sumbing kelak. Hanya Tuhan yang tahu.

Menjelang Malam Pergantian Tahun

Ini adalah suasana petang, hari terakhir dibulan Desember 2010. Petang ini gak ada yang lebih gue tunggu selain waktu pergantian tahun. Gak seperti tahun-tahun sebelumnya, tahun ini gue memilih menunggu pergantian tahun bersama keluarga. Kalo tahun baruan bersama keluarga itu biasanya kami sekeluarga akan pergi ke rumah Bibi saya di daerah Grogol, Depok. Di sana akan ada acara bakar ayam dan jagung serta main kembang api. Seluruh keluarga biasanya akan turut serta. Sekarang hampir magrib, orangtua dan keponakan gue udah berangkat duluan. Tinggalah gue menunggu lepas maghrib untuk menyusul. Kali ini gue gak naik angkot atau motor tapi gue mau naik sepeda lipat.

Sebenarnya gue agak enggan untuk kesana lantaran malam tahun baru kali ini akan berbeda. Meskipun gue hanya akan dirumah saja, tapi gue masih inget bahwa malam ini akan ada perubahan dalam urusan pribadi gue. Malam ini adalah malam cinta gue. Gue akan melepaskan segala sesuatu yang masih jadi beban tahun ini dan berganti untuk tahun besok. Tahun baru, pasangan baru. Semoga saja hidup ini menjadi lebih baru.

Maghrib telah berlalu, gue solat dan segera berangkat menuju ke sana. Jalan malam itu memang lumayan jauh. Meski demikian sepeda gue bisa tiba disana dengan waktu yang sama dengan kecepatan motor.  Tentang sepeda lipet ini belum lama gue beli di Pasar Rumput. Bodinya lumayan oke, yang gak kalah keren gue lengkapkan dengan lampu depan belakang, bel, dan kunci pengaman, nampak agak elegan juga. Tiap gue pulang pergi kampus-rumah, gue biasa pake sepeda ini. Sayangnya ortu kurang setuju gue beli sepeda ini karena gue beli dengan harga 1,4 juta dengan uang yang gue dapet dari beasiswa bidikmisi. Untunglah untuk bulan ini uangnya udah keluar lagi jadi sebenarnya gue ada uang 1,5 juta lagi yang tersimpan di bank. Uang itu disuru dihemat tapi apa bisa? Sementara rencana Sindoro-Sumbing pasti akan membutuhkan budget besar. Siap-siap dimarahin deh.

Tiba dirumah bibi gue, bakar sate, kemudian makan, kemudian pulang sebelum pukul 00.00 WIB. Jalan tidak begitu ramai, padahal tahun baru. Di sepanjang jalan kembang api mewarnai langit malam itu. Semoga Rara merasa senang di rumahnya. Sejak tadi gue udah sms’an dengannya. Tinggal menunggu menit saja hubungan gue jadi resmi dengannya.

Sekarang menit terakhir tutup tahun. Segera gue sms rara dan gue ucapkan selamat kepada dia karena telah resmi menjadi nyonya ramadhani meskipun agak maksa istilah itu. Pukul 00.00 sedang terjadi. Selamat datang di tanggal 1-1-11, selamat hari jadi, semoga bisa langgeng. Sekian banyak harapan muncul di menit-menit itu. Seperti malam yang mungkin tak akan terlupakan, rencanya demikian. Rara sekarang adalah ke kasih gue.  Untuk sekian hari belom boleh ada yang tahu dulu teman-teman sejurusan. Nanti minta pajak lagi, bahaya! Malam itu berakhir dengan buayan mimpi-mimpi lagi, mimpi pendakian yang sebentar lagi (mungkin) akan terwujud.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

  1. No trackbacks yet.

Tinggalkan komentar